HUBUNGAN INFLASI KAITANNYA DENGAN KESEMPATAN KERJA DAN PENGANGGURAN

HUBUNGAN INFLASI KAITANNYA DENGAN KESEMPATAN KERJA DAN PENGANGGURAN

 

 


 

Disusun Oleh :

Sri Nurdianti

NPM :

28213619

Kelas :

1EB16

 

TOPIK : MASALAH PEREKONOMIAN INDONESIA

 

FAKULTAS EKONOMI

UNIVERSITAS GUNADARMA

 

PENDAHULUAN

 

Latar Belakang

 

    Permasalahan utama dalam negara berkembang seperti Indonesia adalah masalah tingginya tingkat pengangguran. Jika hal tersebut tidak segera diatasi maka akan menimbulkan kerawanan sosial dan berpotensi mengakibatkan kemiskinan. Penganggur adalah seseorang yang tidak bekerja, sedang mencari pekerjaan atau sedang membuat usaha baru.

    Pemerintah Indonesia harus menciptakan lapangan kerja bagi setiap warga negara agar meningkatnya pendapatan per kapita sekaligus pendapatan nasional. Ketersediaan lapangan kerja bagi angakatan kerja yang membutuhkan ini disebut dengan kesempatan kerja.

    Hal yang mempegaruhi tenaga kerja yaitu dampak krisis ekonomi yang terjadi sampai saat ini, jumlah migrasi yang terus meningkat dan besarnya jumlah angkatan kerja, itu menyebabkan banyaknya pengangguran. Pengangguran juga disebabkan karena terjadinya pemutusan hubungan kerja dikarenakan perusahaan yang mengurangi jumlah tenaga kerja nya akibat krisis ekonomi atau keamanan yang kurang kondusif, hambatan proses ekspor dan impor, aturan yang menghambat datangnya investasi, kurangnya informasi pasar kerja bagi para pencari kerja, jumlah lapangan kerja yang sedikit daripada jumlah pencari kerja, serta kompetensi pencari kerja tidak sesuai dengan pasar kerja.

     Selain pengangguran, inflasi juga merupakan salah satu hal penting dalam menganalisis perekonomian. Inflasi adalah dimana sebuah perekenomian negara mengalami kenaikan tingkat harga secara umum yang bersifat terus menerus, ini dikarenakan harga barang yang tidak sesuai dengan peredaran uang yang disebabkan oleh berbagai faktor. Seperti di Indonesia hal ini biasanya terjadi pada saat menjelang hari raya idul fitri/lebaran, karena meningkatnya uang yang beredar diikuti dengan meningkatnya harga barang. Inflasi merupakan variable makro ekonomi dimana pemerintah harus selalu menjaga tingkat kestabilannya. inflasi merupakan cerminan dari stabilitas tingkat harga yang kemudian mempengaruhi realisasi pencapaian tujuan pertumbuhan ekonomi suatu negara.

    Dalam mengatasi pengangguran keberadaan industri kecil yang mampu membantu untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan juga mengatasi masalah pengangguran di daerah. Perkembangan industri kecil dilihat dari seberapa besar nilai produksinya dan seberapa besar memberikan efek positif bagi perekonomian industry kecil sangat diupayakan agar mampu menjangkau dan merata hingga kedaerah pedesaan. Tingkat inflasi salah satu faktor yang juga mempengaruhi nilai produksi. Tingginya tingkat suatu inflasi akan mengakibatkan nilai produksi mengalami penurunan dan sebaliknya. Jika tingkat inflasi menurun akan mengakibatkan nilai produksi mengalami peningkatan.

 

Tujuan Penulisan

 

Paper ini bertujuan untuk mengetahui tentang inflasi, pengangguran, kesempatan kerja, hubungan inflasi kaitannya dengan pengangguran, hubungan inflasi kaitannya dengan kesempatan kerja dan hubungan inflasi kaitannya dengan kesempatan kerja dan pengangguran.

 

 

Tinjauan Literatur

 

Inflasi

Salah satu indikator ekonomi makro yang digunakan untuk melihat/mengukur stabilitas perekonomian suatu negara adalah inflasi. Perubahan dalam indikator ini akan berdampak terhadap dinamika pertumbuhan ekonomi. Dalam perspektif ekonomi, inflasi merupakan fenomena moneter dalam suatu negara dimana naik turunnya inflasi cenderung mengakibatkan terjadinya gejolak ekonomi. Silvia et al (2013).

    Inflasi dapat didefinisikan sebagai proses kenaikan harga-harga yang berlaku dalam suatu perekonomian. Kenaikan satu atau dua barang saja tidak dapat disebut inflasi kecuali bila kenaikan itu meluas (atau mengakibatkan kenaikan) kepada barang lain. Tingkat inflasi (presentase pertambahan kenaikan harga) berbeda dari suatu periode ke periode lainnya, dan berbeda pula dari satu negara ke negara lain kenaikan harga diakibatkan oleh banyak faktor. (Utomo;2013)

    Inflasi adalah suatu proses meningkatnya harga-harga secara umum dan terus menerus (continue) berkaitan dengan mekanisme pasar yang di sebabkan beberapa faktor antara lain, konsumsi masyarakat yang meningkat, berlebihnya likuiditas dipasar yang bahkan memicu konsumsi bahkan spekulasi, sampai termasuk juga akibat adanya ketidaklancaran distribusi barang (Nopirin, 2000:25)

    Menurut Keynes, inflasi terjadi karena suatu masyarakat ingin hidup diluar kemampuan ekonominya. Proses inflasi menurut pandangan ini, tidak lain adalah proses perebutan bagian rezeki diantara kelompok-kelompok sosial yang menginginkan bagian yang lebih besar daripada yang biasa disediakan oleh masyarakat tersebut. Proses perebutan ini kemudian diterjemahkan menjadi keadaan dimana permintaan masyarakat akan barang-barang selalu melebihi jumlah barang yang tersedia. Karena permintaan tersebut melebihi barang yang tersedia, maka harga-harga akan naik. Adanya kenaikan harga-harga tersebut berarti bahwa sebagian rencana dari pembelian barang-barang dari kelompok tersebut tidak terpenuhi. Pada periode selanjutnya golongan terssebut akakn berusaha memperoleh dana yang lebih besar lagi (dari percetakan uang baru atau kredit bank yang lebih besar atau dari kenaikan gaji yang lebih besar). Proses inflasi akan terus berlangsung selama jumlah permintaan efektif dari semua golongan masyarakat melebihi jumlah output yang dihasilkan oleh masyarakat.

 

Kita dapat membedakan laju inflasi antara satu negara dengan negara yang lain atau satu negara dalam waktu yang berbeda. Menurut Nopirin (2000:27), atas dasar besarnya laju inflasi, inflasi dapat dibagi ke dalam tiga kategori, yakni:

  1. Inflasi Merayap (Creeping Inflation), biasanya creeping inflation ditandai dengan laju inflasi rendah (kurang dari 10% per tahun). Kenaikan harga berjalan secara lambat, dengan presentase yang kecil serta dalam jangka yang relatif lama.
  2. Inflasi Menengah (Galloping Inflation), inflasi menengah ditandai dengan kenaikan harga yang cukup besar (biasanya double digit atau bahkan triple digit) dan kadang kala berjalan dalam waktu yang relatif pendek serta mempunyai sifat akselerasi. Artinya, harga-harga minggu atau bulan ini lebih tinggi dari minggu atau bulan lalu dan seterusnya. Efeknya terhadap perekonomian lebih berat dari pada inflasi merayap.
  3. Inflasi Tinggi (Hyperinflation), inflasi tinggi merupakan inflasi yang paling parah akibatnya. Harga-harga naik sampai 5 atau 6 kali. Masyarakat tidak lagi berkeinginan untuk menyimpan uang. Nilai uang merosot dengan tajam sehingga ingin ditukar dengan barang. Perputaran uang makin cepat, harga naik secara akselerasi. Biasanya keadaan ini timbul apabila pemerintah mengalami struktur anggaran belanja (misalnya timbul akibat perang) yang dibiayai atau ditutup dengan mencetak uang.

Dampak inflasi terhadap suatu perekonomian menurut Nanga (2005:248) sebagai berikut :

  1. Inflasi dapat menyebabkan terjadinya kesenjangan pendapatan. Hal ini akan mempengaruhi kesejahteraan ekonomi dari anggota masyarakat, sebab kesenjangan pandapatan yang terjadi akan menyebabkan pandapatan riil satu orang meningkat, tetapi pendapatan riil orang lainnya jatuh.
  2. Inflasi dapat menyebabkan penurunan dalam efisiensi ekonomi. Hal ini dapat terjadi karena inflasi mengalihkan investasi dari padat karya menjadi padat modal sehingga menambahkan tingkat pengangguran.
  3. Inflasi juga dapat menyebabkan perubahan-perubahan di dalam output dan kesempatan kerja, dengan cara memmotivasi perusahaan untuk memproduksi lebih atau kurang dari yang telah dilakukan selama ini.

Kesempatan Kerja

Salah satu faktor yang mempengaruhi penyerapan tenaga kerja adalah tersedianya kesempatan kerja yang luas. Berdasarkan definisi yang diperoleh dari Kamus Besar Bahasa Indonesia, kesempatan kerja dapat diartikan sebagai lowongan kerja yang disediakan baik oleh pemerintah maupun swasta. Lowongan kerja itu sendiri tergantung dari permintaan tenaga kerja oleh perusahaan. Anggrainy (2013).

Kesulitan dalam mengendalikan peningkatan pengangguran merupakan masalah serius yang sering dijumpai di negara-negara berkembang. Keadaan di negara berkembang dalam beberapa dasawarsa ini, menunjukkan bahwa pembangunan yang telah dilaksanakan tidak sanggup menyediakan kesempatan kerja kepada angkatan kerja yang ada. Hal ini terjadi karena laju pertumbuhan angkatan kerja lebih tinggi daripada pertumbuhan kesempatan kerja yang ada. Badan Pusat Statistik (BPS) merilis jumlah pengangguran di Indonesia pada Februari tahun 2012 mencapai 7,6 juta jiwa, jumlah ini turun dari Februari tahun 2011 yang mencapai 7,7 juta jiwa. Dan Provinsi Jawa Tengah merupakan penyumbang angka pengangguran terbesar kedua di Indonesia yang mencapai 1.2 juta jiwa pada tahun 2011. Jumlah ini meningkat menjadi 1,6 juta jiwa pada agustus 2012 (BPS) ). Hajji & SBM (2013).

Kesempatan kerja adalah banyaknya orang yang dapat tertampung untuk bekerja pada suatu perusahaan atau suatu instansi. “Kesempatan kerja akan menampung semua tenaga kerja yang tersedia apabila lapangan pekerjaan yang tersedia mencukupi atau seimbang dengan banyaknya tenaga kerja yang tersedia”, (Tambunan, 2001:60). Adapun faktor–faktor yang mempengaruhi perluasan kesempatan kerja antara lain : perkembangan jumlah penduduk dan angkatan kerja, pertumbuhan ekonomi dan kebijaksanaan mengenai perluasan kesempatan kerja itu sendiri. Tenaga kerja merupakan salah satu faktor produksi yang sangat penting disamping sumber alam, modal dan teknologi. Tenaga kerja mempunyai peranan yang sangat penting dalam pembangunan, yaitu sebagai pelaku pembangunan. Masalah ketenagakerjaan merupakan masalah yang begitu nyata dan dekat dengan lingkungan kita. Bahkan, masalah ketenagakerjaan dapat menimbulkan masalah-masalah baru di bidang ekonomi maupun nonekonomi. Tingkat pengangguran yang tinggi menyebabkan rendahnya pendapatan yang selanjutnya memicu munculnya kemiskinan. Tenaga kerja juga merupakan salah satu faktor terpenting dalam proses produksi, maka dapat dikatakan kesempatan kerja akan meningkat bila output meningkat. Sehingga perlu dirumuskan kebijakan yang memberi dorongan kepada perluasan kesempatan kerja agar alat–alat kebijakan ekonomi dapat mengurangi penganggunran. Kebijakan pembangunan daerah yang pada dasarnya mempunyai fungsi dalam perluasan kesempatan kerja apabila dilihat dari pembangunan daerah dan hubungan antara daerah. Pada hakekatnya tiap–tiap proyek pembangunan dilakukan dalam suatu daerah dan implementasinya harus menjadi komponen pembangunan. Yacoub (2013).

Lewis mengemukakan teorinya mengenai ketenagakerjaan, yaitu; kelebihan pekerja merupakan kesempatan dan bukan masalah. Kelebihan pekerja satu sektor akan memberikan andil terhadap pertumbuhan output dan penyediaan pekerja di sektor lain. Selanjutnya Lewis mengemukakan bahwa ada dua sektor di dalam perekonomian negara sedang berkembang, yaitu sektor modern dan sektor tradisional. Sektor tradisional tidak hanya berupa sektor pertanian di pedesaan, melainkan juga termasuk sektor informal di perkotaan (pedagang kaki lima, pengecer, pedagang angkringan). Sektor informal mampu menyerap kelebihan tenaga kerja yang ada selama berlangsungnya proses industrialisasi, sehingga disebut katub pengaman ketenagakerjaan. Dengan terserapnya kelebihan tenaga kerja disektor industri (sektor modern) oleh sector informal, maka pada suatu saat tingkat upah di pedesaan akan meningkat. Peningkatan upah ini akan mengurangi perbedaan tingkat pendapatan antara pedesaan dan perkotaan, sehingga kelebihan penawaran pekerja tidak menimbulkan masalah pada pertumbuhan ekonomi. Nazir et al(2013).

Sebaliknya kelebihan pekerja justru merupakan modal untuk mengakumulasi pendapatan, dengan asumsi perpindahan tenaga kerja dari sektor tradisional ke sektor modern berjalan lancar dan perpindahan tersebut tidak pernah menjadi terlalu banyak.(Todaro, 2004)

Studi lembaga penelitian SMERU (2001) mengemukakan setelah adanya otonomi daerah, pemerintah kota cenderung populis, kecenderungan kenaikan upah minimum yang pesat berdampak terhadap hilangnya kesempatan kerja dan sekaligus pendapatan pekerja rawan seperti pekerja usia muda, pekerja tidak tetap, dan pekerja perempuan.

Mengisinya ketersediaan kesempatan kerja yang tersedia diperlukannya Sumber daya manusia yang berkualitas dan masyarakat madani. Menurut Sudarsono, (2000:613), Sumber Daya Manusia mengandung dua pengertian:pertama, bahwa sumber daya manusia adalah kualitas atau karakteristik yang perlu dimiliki oleh seseorang untuk menghasilkan barang dan jasa; kedua, bahwa sumber daya manusia menyangkut kelompok masyarakat yang mampu bekerja dan memberi kontribusi terhadap perekonomian secara keseluruhan. Dengan demikian pengertian sumber daya manusia mencakup aspek kuantitas dan kualitas atau karakteristik manusia itu sendiri untuk melaksanakan proses itu sendiri.

 

Pegangguran    

    Menurut Payaman J. Simanjuntak (1998) tingkat pendidikan yang dimiliki tenaga kerja akan mempengaruhi keputusan kapan mereka bekerja dengan membandingkan besarnya timbal balik yang didapat atau upah dengan tingkat pendidikan yang telah mereka tempuh. Pengangguran juga merupakan pilihan bagi setiap individu. Di satu sisi, ada orang-orang yang memang menyukai dan tidak ingin bekerja karena malas, di lain pihak ada orang yang ingin bekerja dan sedang mencari pekerjaan tetapi mereka belum mendapatkannya karena tidak sesuai dengan pilihannya Hajji & SBM(2013).

    Rendahnya produktivitas tenaga kerja di Indonesia ini, telah berdampak terhadap kinerja serta kepercayaan para investor untuk menggunakan jasa tenaga 86 kerja Indonesia. Oleh karena itu, produktivitas tenaga kerja sangat menentukan kondisi permintaan tenaga kerja itu sendiri. Sehingga produktivitas yang rendah akan membuat perusahaan memutuskan hubungan kerja dengan para tenaga kerja. Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) ini tentunya akan meningkatkan jumlah pengangguran. Zulhanafi et al (2013). Adanya perkembangan dan tingkat pengangguran di Indonesia dapat dilihat pada tabel 1.

 



    Berdasarkan tabel tersebut, diketahui bahwa selama tahun 2000- tahun 2011 tersebut produktivitas tenaga kerja di Indonesia selalu meningkat. Salah satu masalah ketenagakerjaan di Indonesia adalah tingkat pengangguran. Pada Tabel 1 diketahui bahwa tingkat pengangguran di Indonesia dari tahun 2000 – 2011 mengalami peningkatan dan penurunan. Meningkatnya tingkat pengangguran diduga dipengaruhi oleh penurunan produktivitas, pertumbuhan ekonomi, investasi, pengeluaran pemerintah dan inflasi serta naiknya upah. Sebaliknya, penurunan tingkat pengangguran diduga dipengaruhi oleh meningkatnya produktivitas, pertumbuhan ekonomi, investasi, pengeluaran pemerintah dan inflasi serta turunnya upah. Peningkatan ini diduga dipengaruhi oleh beberapa faktor. Adapun faktor-faktor tersebut pada penelitian ini adalah diduga karena dipengaruhi oleh meningkatnya pendidikan dan kesehatan kerja di Indonesia. Zulhanafi et. Al (2013).

    Tingkat pengangguran pada studi kasus di provinsi Kalimantan Barat


Tabel diatas menggambarkan tingkat pengangguran terbuka di kabupaten/kota di Provinsi Kalimantan Barat selama tahun 2005 sampai tahun 2010, dengan tingkat pengangguran rata-rata 6,43%. Selama beberapa tahun, tingkat pengangguran di Kalimantan Barat turun, dimana tahun 2005 sebesar 8,13% dan tahun 2010 sebesar 4,62% dan semua kabupaten/kota tingkat penganggurannya turun. Beberapa daerah mampu menekan tingkat penganggurannya sehingga turun dengan cukup tinggi. Seperti Kota Pontianak tahun 2005 dengan tingkat pengangguran 16,86% dan tahun 2010 turun menjadi 7,79%. Kabupaten Bengkayang tahun 2005 tingkat pengangguran 8,52% dan tahun 2010 dengan tingkat pengangguran 3,21%. Kabupaten Ketapang tahun 2005 dengan tingkat pengangguran 10,27% dan tahun 2010 menjadi 3,90%. Kabupaten Sintang tahun 2005 sebesar 7,03% dan tahun 2010 turun menjadi 2,32%. Tahun 2010 hanya Kota Pontianak (7,79%), Kota Singkawang (8,05%) dan Kabupaten Pontianak (7,80%) dengan tingkat pengangguran di atas tingkat pengangguran Provinsi Kalimantan Barat (4,62%). Sedangkan kabupaten lainnya dengan tingkat pengangguran rendah dibawah provinsi. Tingkat pengangguran terendah Kabupaten Melawi (1,33%). Yacoub (2013).

    Dalam hal tersebut Yacoub (2013) mengemukakan bahwa jika diperbandingkan antara daerah kabupaten dengan kota, ternyata tingkat pengangguran di Kota Pontianak dan Kota Singkawang relatif lebih tinggi di bandingkan dengan daerah kabupaten. Hal ini dikarenakan, sebagai daerah perkotaan tidak bisa menghindari arus urbanisasi (migrasi), sehingga perkembangan jumlah penduduk yang cepat diperkotaan tidak diikuti dengan tersedianya lapangan pekerjaan yang cukup, akibanya timbul pengangguran. Sedangkan untuk daerah kabupaten yang sebagian besarnya tingkat pengangguran relatif rendah. Walaupun dengan pendidikan yang relatif rendah, tersedianya sektor primer di pedesaan yang untuk memasuki lapangan pekerjaan ini tidak dengan persyaratan khusus, sehingga mempermudah penduduk untuk bekerja, dengan demikian tingkat pengangguran kabupaten lainnya relatif lebih rendah.

    Masalah ketenagakerjaan memang sangat luas dan kompleks. Sebelum krisis ekonomi, Indonesia sudah tergolong sebagai negara bermasalah dengan ketenagakerjaan karena tingginya pertumbuhan penduduk. Terbatasnya lapangan kerja yang tersedia tidak seimbang dengan pertambahan jumlah angkatan kerja sehingga berdampak pada tingginya jumlah pengangguran Ade (2007).

    Pengangguran merupakan suatu ukuran yang dilakukan jika seseorang tidak memiliki pekerjaan tetapi mereka sedang melakukan usaha secara aktif dalam empat minggu terakhir untuk mencari pekerjaan (Kaufman dan Hotchkiss,1999). Pengangguran merupakan suatu keadaan di mana seseorang yang tergolong dalam angkatan kerja ingin mendapatkan pekerjaan tetapi mereka belum dapat memperoleh pekerjaan tersebut (Sukirno, 1994). Pengangguran dapat terjadi disebabkan oleh ketidakseimbangan pada pasar tenaga kerja. Hal ini menunjukkan bahwa jumlah tenaga kerja yang ditawarkan melebihi jumlah tenaga kerja yang diminta (Utomo,2013)..

Pengangguran juga merupakan pilihan bagi setiap individu. Di satu sisi, ada orang-orang yang memang menyukai dan tidak ingin bekerja karena malas, di lain pihak ada orang yang ingin bekerja dan sedang mencari pekerjaan tetapi mereka belum mendapatkannya karena tidak sesuai dengan pilihannya. Menurut Payaman J. Simanjuntak (1998) tingkat pendidikan yang dimiliki tenaga kerja akan mempengaruhi keputusan kapan mereka bekerja dengan membandingkan besarnya timbal balik yang didapat atau upah dengan tingkat pendidikan yang telah mereka tempuh Hajji & SBM (2013).

Arsyad 1997, menyatakan bahwa ada hubungan yang erat sekali antara tingginya tingkat pengangguran dan kemiskinan. Bagi sebagian besar masyarakat, yang tidak mempunyai pekerjaan tetap atau hanya part-time selalu berada diantara kelompok masyarakat yang sangat miskin. Masyarakat yang bekerja dengan bayaran tetap di pemerintah dan swasta biasanya termasuk diantara kelompok masyarakat kelas menengah keatas. Setiap orang yang tidak mempunyai pekerjaan adalah miskin, sedangkan yang bekerja secara penuh adalah orang kaya. Karena kadangkala ada juga pekerja diperkotaan yang tidak bekerja secara sukarela karena mencari pekerjaan yang lebih baik dan yang lebih sesuai dengan tingkat pendidikannya. Mereka menolak pekerjaan-pekerjaan yang mereka rasakan lebih rendah dan mereka bersikap demikian karena mereka mempunyai sumber-sumber lain yang bisa membantu masalah keuangan mereka. Orangorang seperti ini bisa disebut menganggur tetapi belum tentu miskin. Sama juga halnya adalah, banyaknya induvidu yang mungkin bekerja secara penuh per hari, tetapi tetap memperoleh pendapatan yang sedikit.

Secara umum pengertian tenaga kerja adalah menyangkut manusia yang mampu bekerja untuk menghasilkan barang atau jasa dan mempunyai nilai ekonomis yang dapat berguna bagi kebutuhan masyarakat. Secara fisik kemampuan bekerja diukur dengan usia. Orang dalam usia kerja dianggap mampu bekerja. Menurut Undang-Undang No 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, tenaga kerja adalah setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan guna menghasilkan barang dan jasa, baik untuk memenuhi kebutuhan sendiri maupun untuk masyarakat. Di Indonesia, sejak tahun 1998 BPS menggunakan usia 15 tahun ke atas sebagai kelompok penduduk usia kerja. Yacoub (2013).

Menurut Sumarsono (2009: 2-3):”Tenaga kerja atau Sumber Daya Manusia (SDM) menyangkut manusia yang mampu bekerja untuk memberikan jasa atau usaha kerja tersebut. Mampu bekerja berarti mampu melakukan kegiatan yang mempunyai nilai ekonomis, yaitu bahwa kegiatan tersebut menghasilkan barang dan jasa untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Secara fisik kemampuan bekerja diukur dengan usia. Dengan kata lain orang yang dalam usia kerja dianggap mampu bekerja. Kelompok penduduk dalam usia kerja tersebut dinamakan tenaga kerja atau manpower. Secara singkat tenaga kerja didefinisikan sebagai penduduk dalam usia kerja (working age population). Tenaga kerja atau manpower terdiri dari angkatan kerja dan bukan angkatan kerja. Angkatan kerja ataupun labour force terdiri dari (1) golongan yang bekerja, dan (2) golongan yang menganggur dan mencari pekerjaan”. Angka pengagguran menurut (Sumarsono,2009:6), “adalah persentase jumlah penganggur terhadap jumlah angkatan kerja. Penduduk yang sedang mencari pekerjaan tetapi tidak sedang mempunyai pekerjaan disebut penganggur”.

Menurut Nanga (2001 : 253), pengangguran (unemployment) didefinisikan sebagai suatu keadaan dimana seseorang yang tergolong dalam kategori angkatan kerja (labor
force) tidak memiliki pekerjaan dan secara aktif sedang mencari pekerjaan. Selanjutnya terdapat beberapa jenis-jenis pengangguran. Menurut Sukirno (2004 : 328) terdapat dua cara untuk menggolongkan jenis-jenis pengangguran yaitu berdasarkan sumber/penyebab yang mewujudkan pengangguran dan ciri pengangguran tersebut. Berikut jenis pengangguran berdasarkankan penyebabnya:

  1. Pengangguran normal atau friksional adalah jenis pengangguran yang disebabkan penganggur ingin mencari pekerjaan yang lebih baik.
  2. Pengangguran siklikal adalah jenis pengangguran yang disebabkan merosotnya kegiatan ekonomi atau karena terlampau kecilnya permintaan agregat di dalam perekonomian dibanding penawaran agregatnya.
  3. Pengangguran struktural adalah jenis pengangguran yang disebabkan adanya perubahan struktur kegiatan ekonomi.
  4. Pengangguran teknologi adalah pengangguran yang disebabkan adanya penggantian tenaga manusia oleh mesin-mesin dan bahan kimia.

Penggolongan jenis pengangguran berdasarkan cirinya menurut Sukirno (2004 : 330), adalah sebagai berikut;

  1. Pengangguran terbuka yaitu pengangguran ini tercipta sebagai akaibat pertambahan lowongan pekerjaan yang lebih rendah dari pertambahan tenaga kerja.
  2. Pengangguran tersembunyi yaitu pengangguran ini tercipta sebagai akibat jumlah pekerja dalam suatu kegiatan ekonomi lebih banyak dari yang sebenarnya diperlukan.
  3. Pengangguran bermusim yaitu pengangguran yang tercipta akibat musim yang ada, biasanya pengangguran ini terdapat di sektor pertanian dan perikanan.
  4. Setengah menganggur yaitu pengangguran yang tercipta akibat tenaga kerja bekerja tidak sepenuh dan jam kerja mereka adalah jauh lebih rendah dari yang normal.

Penyebab terjadinya pengangguran menurut Sukidjo (2005), di antaranya adalah:

  1. Keterbatasan jumlah lapangan kerja, sehingga tidak mampu menampung seluruh pencari kerja.
  2. Keterbatasan kemampuan yang dimiliki pencari kerja, sehingga pencari kerja tidak mampu mengisi lowongan kerjanm karena tidak memenuhi persyaratan kemampuan dan keterampilan yang diperlukan.
  3. Keterbatasan informasi, yakni tidak memiliki informasi dunia usaha mana yang memerlukan tenaga kerja serta persyaratan apa yang diperlukan.
  4. Tidak meratanya lapangan kerja. Daerah perkotaan banyak tersedia lapangan pekerjaan sedangkan di pedesaan sangat terbatas.
  5. Kebijakan pemerintah yang tidak tepat, yakni pemerintah tidak mampu mendorong perluasan dan pertumbuhan sektor modern.
  6. Rendahnya upaya pemerintah untuk melakukan pelatihan kerja guna meningkatkan skill pencari kerja.

Menurut Marhaeni dan Manuati (2004 : 56) terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi tingkat pengangguran, yaitu sebagai berikut:

  1. Tingkat upah; dimana tingkat upah memegang peranan penting atau sangat berpengaruh besar dalam kondisi ketenagakerjaan.
  2. Teknologi; penggunaan teknologi yang tepat guna akan mengurangi permintaan tenaga kerja sehingga akan meningkatkan jumlah pengangguran.
  3. Fasilitas modal; fasilitas modal mempengaruhi permintaan tenaga kerjamelalui dua sisi. Pengaruh substitutif, dimana bertambahnya modal akan mengurangi permintaan tenaga kerja. Pengaruh komplementer, dimana bertambahnya modal akan membutuhkan tenaga kerja yang lebih banyak untuk mengelola modal yang tersedia.
  4. Struktur perekonomian; perubahan struktur ekonomi menyebabkan penurunan permintaan tenaga kerja.

Hubungan Inflasi dengan Pengangguran

    Salah satu peristiwa moneter yang sering kali dijumpai di hampir tiap negara di dunia adalah Inflasi. (Salvatore, 2007) menyatakan bahwa definisi singkat dari inflasi adalah kecenderungan dari harga-harga untuk naik secara umum dan terus menerus. Kenaikan harga dari satu atau dua barang saja tidak disebut inflasi, kecuali bila kenaikan tersebut meluas kepada (atau mengakibatkan kenaikan) sebagian besar dari harga barang-barang lain Utomo(2013).

    Studi tentang hubungan inflasi dengan pengangguran menimbulkan berbagai pendapat yang berbeda. A.W. Phillip (1958) yang pertama kali melakukan studi ini berpandangan adanya trade off antara inflasi dengan pengangguran, pandangan ini dikenal dengan Phillip’s Curve jangka pendek. Edmund Phelps dan Milton Friedman berpandangan bahwa terdapat perbedaan antara kurva Phillips jangka panjang dan jangka pendek. Menurut mereka, pendekatan terkini akan miringnya kurva Phillip hanya terjadi dalam jangka pendek. Dalam jangka panjang, terdapat tingkat pengangguran minimum yang konsisten terhadap inflasi yang stabil atau disebut Non Accelerating Inflation Rate of Unemployment (NAIRU).

    Menurut Dernburg dan Karyaman Muchtar (1994 : 330), jika tingkat inflasi yang diinginkan adalah rendah, maka akan terjadi tingkat pengangguran yang sangat tinggi. Sebaliknya, jika tingkat inflasi yang diinginkan tinggi, maka akan terjadi tingkat pengangguran yang relatif rendah. Hubungan antara tingkat inflasi dengan pengangguran digambarkan oleh kurva Phillips. Adanya kecenderungan bahwa tingkat inflasi dan pengangguran naik atau hubungan searah (tidak ada trade off) maka menunjukkan bahwa adanya perbedaan dengan kurva Philips dimana terjadi trade off antara inflasi yang rendah atau pengangguran yang rendah.

Penelitian lainnya yang terdapat kesamaan serta mendukung penelitian ini adalah penelitian yang dilakukan oleh Alghofari (2007) yang berjudul “Analisis Tingkat Pengangguran Di Indonesia Tahun 1980-2007”. Dalam penelitian beliau, pertumbuhan ekonomi, pengeluaran pemerintah dan tingkat inflasi secara signifikan dan positif mempengaruhi tingkat pengangguran terbuka di Indonesia periode tahun 1980 sampai 2007. Adapun hubungan positif maupun negatif inflasi terhadap tingkat pengangguran yang terjadi. Apabila tingkat inflasi yang dihitung adalah inflasi yang terjadi pada harga-harga secara umum, maka tingginya tingkat inflasi yang terjadi akan berakibat pada peningkatan pada tingkat bunga atau pinjaman. Oleh karena itu, dengan tingkat bunga yang tinggi akan mengurangi investasi untuk mengembangkan sektor-sektor yang produktif. Kurniawan (2013).

Teori yang signifikan dalam menjelaskan sebab akibat inflasi adalah Kurva Phillips, seperti pada gambar di bawah ini:


 

Kurva Philips di atas menjelaskan hubungan antara tingkat inflasi dengan tingkat pengangguran didasarkan pada asumsi bahwa inflasi merupakan cerminan dari adanya kenaikan permintaan agregat. Dengan naiknya permintaan agregat, berdasarkan teori permintaan, permintaan akan naik, kemudian harga akan naik pula. Dengan tingginya harga (inflasi) maka untuk memenuhi permintaan tersebut produsen meningkatkan kapasitas produksinya dengan menambah tenaga kerja (tenaga kerja merupakan satu-satunya input yang dapat meningkatkan output). Akibat dari peningkatan penyerapan tenaga kerja tersebut maka dengan naiknya harga-harga (inflasi) pengangguran menjadi berkurang atau bisa dilihat pula dengan tingkat inflasi yang stabil akan menurunkan tingkat suku bunga yang secara langsung kemudian akan memicu banyaknya permintaan atas kredit usaha dan akan banyak industri atau sektor usaha yang bermunculan, sehingga jumlah penyerapan tenaga kerja meningkat seiring kesempatan kerja yang tinggi. Kurniawan (2013).

Kurva Philips ini hanya berlaku pada tingkat inflasi ringan dan dalam jangka pendek. Hal ini disebabkan karena adanya kenaikan harga yang membuat perusahaan meningkatkan jumlah produksinya dengan harapan memperoleh laba yang lebih tinggi. Namun, jika inflasi yang terjadi adalah hyper inflation, kurva Philips tidak berlaku lagi. Pada saat inflasi tinggi yang tidak dibarengi dengan kemampuan masyarakat, perusahaan akan mengurangi jumlah penggunaan tenaga kerja sehingga jumlah pengangguran akan bertambah. Sucitrawati & Arka (2013).

Menurut hasil penelitian Zulhanafi et al (2013), inflasi tidak berpengaruh signifikan terhadap tingkat pengangguran di Indonesia secara parsial. Tidak terdapatnya pengaruh yang signifikan antara inflasi dan tingkat pengangguran mengindikasikan bahwa tingkat pengangguran tidak dipengaruhi oleh inflasi di Indonesia. Hal ini dikarenakan inflasi yang terjadi di Indonesia sebagian besar adalah inflasi yang berasal dari kenaikan atau dorongan biaya produksi (Cost Push Inflation) bukan berasal dari kenaikan atau tarikan permintaan (Demand Pull Inflation). Sebab inflasi yang berasal dari tarikan permintaan akan mendorong produsen atau perusahaan untuk meningkatkan kapasaitas produksinya dengan menambah input-input produksi diantaranya tenaga kerja (asumsi modal tetap). Akibat dari peningkatan penggunaan input produksi dalam hal ini adalah tenaga kerja maka akan menurunkan tingkat pengangguran. Sedangkan inflasi yang berasal dari dorongan biaya tidak akan menyebabkan peningkatan terhadap permintaan input produksi (tenaga kerja) dan bahkan sampai kadar tertentu peningkatan biaya produksi ini justru akan mengurangi penggunaan tenaga kerja sehingga meningkatkan tingkat pengangguran. Kondisi ini dibuktikan oleh semakin meningkatnya biaya produksi perusahaan di Indonesia beberapa tahun belakangan seperti meningkatnya harga-harga bahan baku dan barang modal impor akibat krisis keuangan global sehingga mendorong kenaikan harga output produksi. Kenaikan harga output produksi ini telah memicu terjadinya inflasi di Indonesia akan tetapi inflasi seperti ini tidak mengakibatkan kapasitas produksi meningkat sehingga penggunaan tenaga kerja juga tidak meningkat. Oleh karena itu, tingkat pengangguran tidak berkurang.

 

Pengaruh Inflasi terhadap Kesempatan Kerja

 


 

Salah satu peristiwa moneter yang sangat penting dan yang dijumpai di hampir semua negara di dunia adalah inflasi. Boediono (1999) menyatakan bahwa definisi singkat dari inflasi adalah kecenderungan dari harga-harga untuk naik secara umum dan terus menerus. Kenaikan harga dari satu atau dua barang saja tidak disebut inflasi, kecuali bila kenaikan tersebut meluas kepada (atau mengakibatkan kenaikan) sebagian besar dari harga barang-barang lain. Kenaikan harga-harga karena musiman, menjelang hari-hari besar, atau yang terjadi sekali saja (dan tidak mempunyai pengaruh lanjutan) tidak disebut inflasi. Kenaikan harga semacam ini tidak dianggap sebagai masalah atau “penyakit” ekonomi dan tidak memerlukan kebijaksanaan khusus untuk menanggulanginya. Sedangkan Sukirno (2002) menyatakan bahwa inflasi dapat didefinisikan sebagai suatu proses kenaikan harga-harga yang berlaku dalam sesuatu perekonomian. Hutagalung & Sentosa (2013).

Dengan naiknya permintaan agregat, berdasarkan teori permintaan, permintaan akan naik, kemudian harga akan naik pula. Dengan tingginya harga (inflasi) maka untuk memenuhi permintaan tersebut produsen meningkatkan kapasitas produksinya dengan menambah tenaga kerja (tenaga kerja merupakan satu-satunya input yang dapat meningkatkan output) (Sukirno, 2004). Tingkat inflasi mempunyai hubungan positif atau negatif terhadap kesempatan kerja. Apabila tingkat inflasi yang dihitung adalah inflasi yang terjadi pada harga-harga secara umum, maka tingginya tingkat inflasi yang terjadi akan berakibat pada peningkatan pada tingkat bunga (pinjaman). Oleh karena itu, dengan tingkat bunga yang tinggi akan mengurangi investasi untuk mengembangkan sektor-sektor yang produktif. Hal ini akan berpengaruh pada rendahnya kesempatan kerja sebagai akibat dari rendahnya investasi. Dengan adanya kecenderungan bahwa tingkat inflasi dan pengangguran kedudukannya naik (tidak ada trade off) maka menunjukkan bahwa adanya perbedaan dengan kurva philips dimana terjadi trade off antara inflasi yang rendah atau pengangguran yang rendah. Jika tingkat inflasi yang diinginkan adalah rendah, maka akan

terjadi tingkat pengangguran yang sangat tinggi. Sebaliknya, jika tingkat inflasi yang diinginkan tinggi, maka akan terjadi tingkat pengangguran yang relatif rendah. Hutagalung & Sentosa (2013).


Masalah ketersediaannya kesempatan kerja juga dipengarhi oleh tingginya tingkat pengangguran dikalangan amgkatan kerja terdidik. Menurut Saliman (2005), hal juga ini dapat berdampak serius pada berbagai dimensi kehidupan. Dari dimensi politik, dapat dijelaskan bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan para pengangggur, semakin gawat kadar tindakan destabilitas yang tercipta. Lulusan perguruan tinggi yang tidak terlibat dalam kegiatan ekonomi dapat mendorong pada perubahan sosial yang cepat. Sementara itu tamatan pendidikan menengah yang tidak bekerja dapat semakin mempergawat kadar ketidakdamaian politik. Banyak kasus kerusuhandan aksi-aksi politik yang eksplosif didukung oleh para lulusan dunia pendidikan menengah yang tidak bekerja.

Dari dimensi ekonomi, masalah ini merupakan pemborosan nasional. Investasi pendidikan adalah biaya yang tidak sedikit, apalagi pada tingkat pendidikan menengah ke atas. Jika angkatan kerja ini tidak didayagunakan sesuai dengan kapasitasnya, maka terjadi inefisiensi (pemborosan) biaya, waktu, dana maupun energi. Dari dimensi sosial-psikologi, pengangguran tenaga terdidik sangat berbahaya. Situasi ini akan menimbulkan kemerosotan rasa percaya diri dan harga diri para penganggur. Apabila berlangsung dalam kurun waktu relative lama, hilangnya rasa percaya diri ini akan semakin terakumulasi dan dapat mengimbas pada angkatan kerja lainnya. Suliman (2005).

 

Hubungan Inflasi Kaitannya Dengan Kesempatan Kerja dan Pengangguran Studi Kasus Kota Malang


Kurniawan (20113) mengemukakan bahwa dari gambar diatas bisa dilihat bahwa Tingkat Inflasi di Kota Malang dari tahun 1980 sampai 2011 trennya stabil, hanya ditahun 1998 saja yang mencapai 93% sebab pada saat itu Indonesia khususnya Kota Malang terkena dampak krisis moneter dan seperti yang terlihat pengangguran terbukanya pun ikut melonjak disaat yang sama. Dan bila melihat jumlah Pengangguran Terbukanya meningkat di tahun 1980 hingga 2005 sedangkan di tahun 2006 hingga 2011 menurun. Perkembangan tingkat inflasi yang stabil di Kota Malang ini memiliki hubungan positif atau negatif terhadap besarnya jumlah Pengangguran Terbuka yang terjadi.

Pengaruh negatif terjadi sebagai akibat dari peningkatan inflasi di suatu tahun memacu kenaikan tingkat suku bunga yang selanjutnya akan berimbas pada turunnya tingkat investasi, akibatnya jumlah pengangguran meningkat seiring kesempatan kerja yang rendah seperti yang terjadi pada tahun 1980 hingga 2005. Sedangkan pengaruh positif terhadap jumlah Pengangguran Terbukanya didasarkan pada inflasi merupakan cerminan dari adanya kenaikan permintaan agregat. Dengan naiknya permintaan agregat, maka permintaan akan naik dan harga akan naik pula. Dengan tingginya harga (inflasi) maka untuk memenuhi permintaan tersebut produsen meningkatkan kapasitas produksinya dengan menambah tenaga kerja dan dengan mendirikan atau menambah unit usahanya dalam hal ini membangun industri baru sehingga pengangguran akan berkurang seperti yang tercermin pada tahun 2006 sampai 2011. Kurniawan (2013)

Hasil penelitian Kurniawan (2013) yaitu Nilai koefisien variabel log_INFLASI sebesar 0,0629 dan bertanda negatif menyatakan bahwa setiap peningkatan log_INFLASI sebesar 1 satuan maka variabel log_PENGANGGURAN akan menurun sebesar 0,0629. Dan hal ini sesuai dengan hipotesis awal penelitian ini yaitu terdapat pengaruh secera negatif antara inflasi terhadap tingkat pengangguran terbuka di Kota Malang serta sesuai pula dengan Teori Kurva Phillips yakni tingkat inflasi didasarkan pada asumsi bahwa inflasi merupakan cerminan dari adanya kenaikan permintaan agregat. Dengan naiknya permintaan agregat, berdasarkan teori permintaan, permintaan akan naik, kemudian harga akan naik pula. Dengan tingginya harga (inflasi) maka untuk memenuhi permintaan tersebut produsen meningkatkan kapasitas produksinya dengan menambah tenaga kerja.

 

Pembahasan

    Inflasi merupakan suatu proses kenaikan harga-harga dalam suatu perekonomian secara terus menerus dikarenakan konsumsi masyarakat yang meningkat, terjadinya likuiditas pada sektor industri dan pasar, dan adanya hambatan dalam distribusi barang. Inflasi
adalah dimana suatu permintaan masyarakat melebihi jumlah barang yang tersedia disaat inilah harga-harga akan naik. Jika permintaan meningkat dan persediaan tidak mencukupi untuk itu maka harga nya akan meningkat, hal ini akan memungkinkan pihak-pihak yang menginginkan barang-barang terssebut akan berusaha memperoleh pendapatan yang lebih besar lagi hal ini akan mengakibakan meningkatnya jumlah uang yang beredar, proses ini akan berlangsung selama jumlah permintaan efektif dari masyarakat telah melebihi jumlah output yang dihasilkan oleh masyarakat.

    Dalam teori Nopirin, inflasi terbagi tiga dalam waktu yang berbeda yaitu inflasi rendah yang kurang dari 10%, inflasi menengah yang cukup besar, dan inflasi tinggi disini harga-harga akan naik hingga 5 atau 6 kali lipat. Waktu inflasi rendah ini laju inflasi berjalan secara lambat, dengan presentasi yang kecil, dan jangka waktu yg lama, dalam inflasi menengah laju inflasi biasanya meningkat secara periodik dari waktu ke waktu, dan inflasi tinggi biasanya jarang terjadi, jika terjadi dikarenakan perang besar yang menyebabkan pemerintah membiayai struktur anggaran belanja atau ditutup dengan mencetak uang.

    Inflasi menyebabkan terjadinya kesenjangan pendapatan, penurunan dalam efisiensi ekonomi dalam hal ini inflasi menyebabkan investasi terfokus pada modal, dan mengabaikan padat karya sehingga meningkatkan jumlah pengangguran, dan juga menyebabkan perubahan-perubahan didalam output dan kesempatan kerja dengan memotivasi perusahaan agar menyesuaikan output saat terjadi inflasi.

    Dengan terjadinya inflasi maka untuk memenuhi permintaan tersebut produsen harus meningkatkan outpu dengan cara kapasitas produksinya menginput tenaga kerja, maka akan ada banyak kesempatan kerja. Tingkat inflasi akan berpengaruh negatif terhadap kesempatan kerja atau rendahnya kesempatan kerja yang ada, jika inflasi yang terjadi pada harga-harga secara umum, hal ini akan meningkatkan bunga pinjaman dengan tingkat bunga yg tinggi akan mengurangi investasi untuk mengembangkan perusahaan-perusahaan yang produktif, karena rendahnya investasi.

    Dalam penelitian Hutagakung & Sentosa (2013) jika tingkat pengangguran sangat tinggi maka inflasi yang diinginkan rendah ini diakibatkan oleh adanya perbedaan kurva philips yang terjadi trade off (tidak ada) antara inflasi yang rendah atau pengangguranyang rendah, sedangkan jika tingkat pengangguran relatif rendah maka tingkat inflasi yang diinginkan tinggi.

    Ketersediaan kesempatan kerja juga dipengaruhi oleh angkatan kerja terdidik yang menganggur. Dalam perekonomian investasi dalam pendidikan tidaklah sedikit ini merupakan pemborosan nasional jika angkatan kerja menganggur, mka terjadilah pemborosan waktu, biaya dan energi.

    Dalam hasil penelitian kurva philips perkembangan tingkat inflasi pada studi kasus dikota malang ini memiliki hubungan positif dan negatif terhadap besarnya jumlah pengangguran terbuka, sisi positif dari ekonomi yang cukup stabil dan inflasi yang cukup tinggi, untuk memenuhi permintaan tersebut produsen akan meningkatkan kapasitas produksinya dengan menambahkan tenaga kerja dan terciptalah kesempatan kerja sehingga pengangguran akan berkurang. Sedangkan sisi negatif akibat terjadinya inflasi akan menaikan suku bunga dan mengakibatkan turunnya investasi, ini berakibat pada berkurangnya kesempatan kerja dan meningkatnya jumlah pengangguran.

    Perkembangan jumlah penduduk dan angkatan kerja, pertumbuhan ekonomi dan kebijaksanaan mengenai perluasan kesempatan kerja, kesempatan kerja terjadi karena adanya suatu perusahaan atau instansi yang memakai para tenaga kerja angkatan kerja, jika output meningkat maka kesempatan kerja juga akan meningkat hal ini merupakan faktor terpenting dalam proses produksi. Dalam hal ini diperlukannya kebijakan ekonomi untuk memperluas kesempatan kerja. Dan jika terjadi kelebihan pekerja tidak akan menimbulkan masalah pada pertumbuhan ekonomi bahwa karena dengan asumsi perpindahan tenaga kerja dari sektor tradisional ke modern berjalan lancar dan tidak terjadi terlalu banyak, maka hal ini adalah modal untuk mengakumulasi pendapatan. Dalam masalah mengisi kesempatan kerja yang tersedia diperlukannya sumber daya manusia yang berkualitas dan berkarakteristik untuk menghasilkan barang dan jasa hal ini diwujudkannya dengan adanya masyarakat madani.

    Pengangguran terjadi karena adanya penganggur yang ingin mencari pekerjaan yang lebih baik lagi, merosotnya kegiatan ekonomi karena permintaan agregat menurun dan penawaran meningkat, adanya struktur kegiatan ekonomi, dan adanya penggantian tenaga manusia oleh mesin-mesin dan bahan kimia. Pengangguran tercipta karena adanya lowongan pekerjaan lebih rendah dari tenaga kerja, jumlah pekerja dalam suatu kegiatan ekonomi lebih banyak dari yang diperlukan, penganggur juga terdapat disektor pertanian dan perikanan akibat musim, dan adanya tenaga kerja yang bekerja secara tidak penuh atau jauh dari jam yang normal.

    Hal-hal tersebut terjadi dikarenakan keterbatasan jumlah lapangan kerja, keterbatasan kemampuan yang dimiliki pencari kerja karena tidak memenuhi syarat kemampuan dan ketrampilan yang diperlukan, keterbatasan informasi, tidak meratanya lapangan kerja, kebijakan pemerintah yang tidak tepat, dan rendahnya upaya pemerintah untuk melakukakan pelatihan kerja guna meningkatkan kemampuan pekerja.

    

Kesimpulan

    Permasalahan utama dalam negara berkembang seperti Indonesia adalah masalah tingginya tingkat pengangguran. Tingkat inflasi salah satu faktor yang juga mempengaruhi nilai produksi. Tingginya tingkat suatu inflasi akan mengakibatkan nilai produksi mengalami penurunan dan sebaliknya. Jika tingkat inflasi menurun akan mengakibatkan nilai produksi mengalami peningkatan. Sehingga mempengaruhi besar kecilnya pengangguran sesuai dengan kesempatan kerja yang tersedia karena adanya inflasi tersebut.

    Dalam mengatasi pengangguran keberadaan industri kecil yang mampu membantu untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan juga mengatasi masalah pengangguran di daerah. Perkembangan industri kecil dilihat dari seberapa besar nilai produksinya dan seberapa besar memberikan efek positif bagi perekonomian industry kecil sangat diupayakan agar mampu menjangkau dan merata hingga kedaerah pedesaan. Kemungkinan masalah pengangguran bisa teratasi dengan banyaknya wirausahawan yang meniptakan usaha-usaha baru daripada angkatan kerja yang mencari pekerjaan dibawah instansi. Dengan membuka wirausaha hal ini akan mengurangi pengangguran dan terciptanya ketersediaan kesempatan kerja bagi angkatan kerja yang menganggur.

 

Daftar Pustaka

 

Hutagalung, Paul SP, Purbayu Budi Santosa.2013.Analisis Pengaruh Upah Minimum Dan Inflasi Terhadap Kesempatan Kerja Sektor Industri Pengolahan Besar Dan Sedang Di Jawa Tengah (35 kab/kota). Diponegoro Journal Of Economics. Vol 2, No.4

Kurniawan, Roby Cahyadi.2013.Analisis Pengaruh PDRB, UMK, dan Inflasi Terhadap Tingkat Pengangguran Terbuka Di Kota Malang Tahun 1980-2011. Jurnal Ilmiah. Vol. 1, No. 1

Silvia, Engla Denim, Yunia Wardi, Hasdi Aimon. 2013. Analisis Pertumbuhan Ekonomi, Investasi, Dan Inflasi Di Indonesia. Jurnal Kajian Ekonomi. Vol 1, No. 4

Sopianti, Ni Komang, A.A Ketut Ayuningsasi. 2013. Pengaruh Pertumbuhan ekonomi, Tingkat Inflasi, Dan Upah Minimum Terhadap Jumlah Pengangguran Di Bali.Jurnal Ekonomi Pembangunan. Vol 2 No. 4

Saraswati, Putu Eggyta Putri, Komang Rastini. 2013. Pengaruh Investasi, Tenaga Kerja Dan Inflasi Terhadap Nilai Produksi Pada Sektor Industri. Jurnal Ekonomi Pembangunan. Vol 2, No. 8

Salhab, Amira. Lasmini Soedjono. 2013. Pengaruh Inflasi, Jumlah Tenaga Kerja, Dan Pengeluaran Pemerintah Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Bali. Jurnal Ekonomi Pembangunan. Vol 2, No.1

Utomo, Fajar Wahyu. 2013. Pengaruh Inflasi Dan Upah Terhadap Pengangguran Di Indonesia Periode Tahun 1980-2010. Jurnal Ilmiah. Vol 1, No. 2

Setiaji, Bambang. Sudarsono.2004. Pengaruh Diferensiasi Upah Antar Propinsi Terhadap Kesempatan Kerja. Jurnal Ekonomi Pembangunan. Vol 9, No. 2

Saliman. 2005. Dampak Krisis Terhadap Ketenagakerjaan Indonesia. Jurnal Ekonomi & Pendidikan. Vol 2, No. 3

Sucitrawati, Ni Putu. Sudarsana Arka. 2007. Pengaruh Inflasi, Investasi, Dan Tingkat Upah Terhadap Tingkat Pengangguran Di Bali. Jurnal Ekonomi Pembangunan. Vol 2, No. 1

Aimon, Hasdi. Zulhanafi. Efrizal Sofyan. 2013. Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Produktivitas Dan Tingkat Pengangguran.Jurnal Kajian Ekonomi. Vol 2, No. 3

Hajji, Muhammad Shun. Nugroho SBM. 2013. Analisis PDRB, Inflasi, Upah Minimum Provinsi, Dan Angka Melek Huruf Terhadap Tingkat Pengangguran Terbuka Di Provinsi Jawa Tengah Tahun 1990-2011. Diponegoro Journal Of Economics. Vol 2, No. 3

Anggrainy, Kholifah. 2013. Analisis Dampak Kenaikan Upah Minimum Kota (UMK) Terhadap Kesempatan Kerja Dan Investasi (Studi Kasus pada Kota Malang Periode 2001-2011). Jurnal Ilmiah. Vol 1, No 2

Nizar, Chairul. Abubakar Hamzah, Sofyan Sanur. 2013. Pengaruh Investasi Dan Tenaga Kerja Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Serta Hubungannya Terhadap Tingkat Kemiskinan Di Indonesia.Jurnal Ilmu Ekonomi. Vol 1, No. 2

Yacoub, Yarlina. 2012. Pengaruh Tingkat Pengangguran Terhadap Tingkat Kemiskinan Kabupaten/Kota di Provinsi Kalimantan Barat. Jurnal EKSOS. Vol 8, No. 3

Leave a comment