Dampak Kebijakan Fiskal Dan Moneter Terhadap Perekonomian

DAMPAK KEBIJAKAN FISKAL DAN MONETER TERHADAP PEREKONOMIAN

 

 


 

Disusun Oleh :

Sri Nurdianti

NPM :

28213619

Kelas :

1EB16

 

TOPIK : KEBIJAKSANAAN PEMERINTAH

 

FAKULTAS EKONOMI

UNIVERSITAS GUNADARMA

PENDAHULUAN

 

Latar Belakang

 

Salah satu tujuan negara adalah pemerataan pembangunan ekonomi dalam perekonomian Indonesia, karena itu pemerintah selalu melaksanakan pembangunan disegala bidang. Agar lebih mudah menjalankan kegiatan-kegiatan pembangunan ekonomi stabilitas ekonomi harus tercapai.

Setiap pemerintah dalam bidang ekonomi mempunyai tugas-tugas penting yang harus dilakukan, salah satunya adalah untuk mencapai stabilitas ekonomi. Menurut Siregar, et al (2006) bahwa stabilitas ekonomi dapat dilihat dari dampak guncangan suatu variabel makroekonomi terhadap variabel makroekonomi yang lainnya. Apabila dampak suatu guncangan menyebabkan fluktuasi yang besar pada variabel ekonomi dan diperlukan waktu yang relatif lama untuk mencapai keseimbangan jangka panjang, maka dapat dikatakan bahwa stabilitas makroekonomi rentan terhadap perubahan. Jika sebaliknya, dampak guncangan menunjukan fluktusi yang kecil dan waktu untuk mencapai keseimbangan jangka panjang relatif tidak lama maka dapat dikatakan bahwa kondisi makroekonomi masih stabil.

Dalam mengusahakan hal ini berkaitan dengan kebijakan, diantaranya kebijakan fiskal dan moneter. Diantara kebijakan itu perlu dipilih kebijakan yang tepat. Besar-besaran konsumsi, investasi, pengeluaran pemerintah, ekspor dan impor yang akan mempengaruhi pasar barang semua itu dipengaruhi oleh kebijakan fiskal. Sedangkan, kebijakan moneter akan mempengaruhi penawaran uang dan permintaan uang (money supply and money demand) yang terdeskripsi dalam suatu perekonomian.

Kebijakan fiskal berkaitan dengan semua instrumen yang menyangkut penggunaan sumber daya anggaran negara (APBN) dalam ekonomi. Sedangkan kebijakan moneter ini dikendalikan oleh Bank Bentral (Bank Indonesia/BI), yang berhubungan dengan pengendalian ekonomi yang memakai instrumen suku bunga, inflasi, uang beredar, nilai tukar dan lain sebagainya.

Melalui peningkatan kapasitas perekonomian, kebijakan fiskal dapat mempengaruhi suatu sisi permintaan agregat suatu perekonomian dalam jangka pendek, dan juga dapat mempengaruhi sisi penawaran yang bersifat jangka panjang. Kebijakan fiskal dan moneter akan berinteraksi antara satu sama lain dalam pengelolaan stabilitas makroekonomi. Permasalahan dalam interaksi antara kebijakan fiskal dan moneter terdapat pada terjadinya trade-off antara penacapaian stabilitas harga dan terdapat pada pertumbuhan ekonomi terutama jangka pendek. Kenaikan tingkat i nflasi disebabkan oleh defisit fiskal yang tinggi, dan jika perekonomian dengan inflasi yanng tinggi maka akan memberikan dampak negatif bagi pertumbuhan ekonomi.

Kebijakan moneter selalu disesuaikan dengan kebutuhan suatu negara untuk mencapai stabilitas ekonomi yang bersifat dinamis. Dari kebijakan moneter suatu negara kebanyakan menganut empat ultimate target (Pohan, 2008), yaitu (1) pertumbuhan ekonomi dan pemerataan pendapatan; (2) kesempatan kerja; (3) kestabilan harga; (4) kesimbangan neraca pembayaran.

Namun Bank Indonesia dalam pertumbuhan ekonomi masih banyak menimbulkan perdebatan didalam kebijakan moneter yang digunakan. Diantaranya adalah perdebatan yang terjadi pada para ekonom antara menggunakan kebijakan rules atau kebijakan discretion. Dalam pendekatan rules (rulesbase money), maka implementasi kebijakan moneter didasarkan pada pertumbuhan jumlah uang beredar yang konstan (the constant-moneygrowth rules). Sedangkan pendekatan discretion mengacu pada otoritas moneter memiliki kebebasan dalam menjalankan kebijakan moneter sesuai dengan kondisi akrual yang dihadapi oleh suatu perekonomian (Natsir, 2008).

Dalam menerapkan kebijakan moneter peneliti telah banyak membuktikan instrummen tersebut dibeberapa negara dalam mempengaruhi pertumbuhan ekonomi. Instrumen uang beredar di Indonesia tidak dapat mempengaruhi pertumbuhan ekonomi, sedangkan instrumen suku bunga SBI mampu mempengaruhi pertumbuhan ekonomi dalam jangka panjang (Julaiha dan Isukrindo, 2004). Di negara yang berbeda seperti iran, instrumen kebijakan moneter yang di proksikan dengan jumlah uang beredar dapat mempengaruhi pertumbuhan yang terjadi di negara tersebut (Nouri dan Samimi, 2011).

    

Tujuan Penulisan

 

    Paper ini bertujuan untuk mengetahui dampak dan interaksi kebijakan fiskal terhadap output dan inflasi, kebijakan fiskal dan moneter dalam sistem nilai tukar mengambang dengan aliran modal tidak sempurna., dampak kebijakan moneter terhadap pertumbuhan ekonomi, dan respon dinamik variabel ekonomi makro terhadap guncangan kebijakan moneter

 

Tinjauan literatur

 

    Kebijakan moneter menurut Nopirin adalah tindakan yang dilakukan oleh penguasa moneter (biasanya bank sentral) untuk memengaruhi jumlah u ang beredar dan kredit yang pada gilirannya akan mempengaruhi kegiatan ekonomi masyarakat. Bank sentral adalah lembaga yang berwenang mengambil langkah kebijakan moneter untuk memengaruhi jumlah uang beredar.

    Kebijakan moneter merupakan salah satu bagian integral dari kebijakan ekonomi makro. Kebijakan moneter ditunjukkan untuk mendukung tercapainya sasaran ekonomi makro, yaitu pertumbuhan ekonomi yang tinggi, stabiliitas harga, pemerataan bangunan, dan keseimbangan neraca pembayaran (iswardono, 1997:126).

    Menurut moneteris kebijakan yang paling tepat untuk menstabilkan perekonomian adalah kebijakan moneter. Mereka percaya kebijakan moneter mempunyai dampak langsung terhadap kegiatan perekonomian. Pendapat ini didasarkan pada pemikiran bahwa permintaan uang untuk spekulasi adalah tidak penting, menurut mereka uang terutama untuk membiayai transaksi (Froyen, 2002).

    

    Stabilisasi ekonomi makro dapat dilihat dari pengaruh guncangan kebijakan harga pangan atau variabel makro lainnya terhadap variabel kunci indicator makro. Jika suatu guncangan menimbulkan fluktuasi yang besar pada variabel ekonomi makro., maka dapat dikatakan stabilitas ekonomi makro rentan terhadap guncangan tersebut. Sebaliknya, jika dampaknya menimbulkan fluktuasi yang kecil, maka dapat dikatakan stabilitas ekonomi makro yang stabil. (N Ilham dan Hermanto S).

    Kebijakan moneter meliputi semua tindakan pemerintah yang bertujuan untuk mempengaruhi jalannya perekonomian melalui penambahan atau pengurangan jumlah uang beredar, maka dikatakan bahwa instrument variabel adalah M, yaitu jumlah uang beredar yang disebut juga penawaran uang (money supply). Sdangkan kebijakan fiscal adalah semua tindakan yang dilakukan pemerintah, bertujuan untuk mempengaruhi jalannya perekonomian melalui penambahan atau pengurangan pemerintah dan atau pajak, mempunyai pajak atau Tx, atau transfer payment atau Tr, dan pengeluaran pemerintah atau G (Teguh santoso dan Maruto Umar Basuki).

    Pengeluaran pemerintah dianggap sebagai komponen pengeluaran agregat yang otonom (G0) Karena pendapatan nasional bukan merupakan factor penting yang akan mempengaruhi keputusan pemerintah untuk menentukan anggaran belanjanya. Ada tiga factor penting yang menentukan pengeluaran pemerintah yaitu : pajak yang diharapkan akan diterima, pertimbangan-pertimbangan politik, dan persoalan-persoalan ekonomi yang dihadapi (Sadono, 2005).

    Kebijakan fiskal adalah langkah-langkah pemerintah untuk membuat perubahan-perubahan dalam sistem pajak atau dalam pembelanjaannya dengan maksud untuk mengatasi masalah-masalah ekonomi yang dihadapi (Sadono Sukirno, 2003).

    Kebijakan fiskal memiliki dua prioritas, yang pertama adalah mengatasi defisit anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) dan masalah-masalah APBN lainnya. Defisit APBN terjadi apabila penerimaan pemerintah lebih kecil dari pengeluarannya. Dan yang kedua adalah mengatasi stabilitas ekonomi makro, yang terkait dengan antara lain : pertumbuhan ekonomi, tingkat inflasi, kesempatan kerja dan neraca pembayaran (Tulus TH Tambunan, 2006).

    Dalam struktur APBN, pengelolaan keuangan Negara telah mengalami perubahan dengan maksud mencapai tingkat efisiensi dan efektivitas belanja. Dimulai pada tahun 2001, APBN sudah mweninggalkan sistem anggaran berimbang dinamis yaitu penganggaran dimana jumlah penerimaan Negara selalu sama dengan pengeluaran Negara. Sistem anggaran ini mengaburkan sifat bantuan luar negeri sebagai pinjaman yang harus dibayar kembali dimasukan sebagai item penerimaan. Oleh karena itu penganggaran berubah menjadi sistem penganggaran surplus atau defisit. Dimana anggaran defisit ditutupi dengan pembiayaan sedangkan dalam pembiayaan itu sendiri tercantum pinjaman luar negeri dan pengembalian pokok pinjaman. (Berto Muharman).

    Yarbrough dan yarbrough (2002) mengemukakan bahwa sistem nilai tukar yang dianut dan derajat aliran modal internasional merupakan penentu utama efektifitas kebijakan fiskal dan moneter dalam perekonomian terbuka. Perbedaan sistem kurs yang digunakan dalam suatu perekonomian akan sangat mempengaruhi efektifitas kebijakan ekonomi dan penentuan kurs mata uang.

    Menurut kaum klasik, kebijakan fiskal hanya menaikkan suku bunga dan tidak menimbulkan suatu perubahan terhadap pendapatan nasional. Kenaikan pendapatan nasional yang tidak menimbulkan kenaikan terhadap pendapatan nasional tersebut disebut crowding out yaitu suatu proses dalam perekonomian dimana kenaikan pengeluaran pemerintah diiikuti oleh kemerosotan investasi swasra tersebut diakibatkan oleh kenaikan suku bunga. Dalam kondisi full crowding out pengeluaran agregat (AE) tidak mengalami perubahan karena meskipun G meningkat disisi lain I menjadi berkurang (Mankie, 1997).

    Inflasi adalah fenomena ekonomi yang tak pernah basi dalam sejarah panjang rkonomi. Inflasi menjadi pembahasan yang kursial karena mempunyai dampak yang amat luas dalam perekonomian makro. Inflasi yang tinggi akan menyebabkan memburuknya distribusi pendapatan, menambah angka kemiskinan, mengurangi tabungan domesrik, menyebabkan defisit neraca perdagangan, menggelembungkan besaran utang luar negeri serta menimbulkan ketidakstabilan politik. Mengingat begitu kursialnya inflasi ini, Bank Sentral dalam tugasnya menjaga stabilitas ekonomi menetapkannya sebagai tujuan utama dalam pelaksanaan kebijakan moneternya. Dalam melaksanakan tugasnya, Bank Indonesia telah menyusun berbagai kerangka kebijakan moneter yang menjadi pedoman dalam langkah stabilisasi ini. Kebijakan ini tentunya selalu disesuaikan dengan perkembangan dinamika ekonomi nasional dan global beberapa tahun terakhir ini telah memfokuskan perhatian BI kepada masalah pengendalian inflasi. Hal ini juga didukung oleh perkembangan teori ekonomi dalam literatur dan temuan empiris di beberapa negara bahwa kebijakan moneter dalam jangka menengah panjang berpengaruh pada inflasi, bukan pada pertumbuhan ekonomi (Perry Warjiyo dan Solikin, 2004).

    Dalam pembentukan suku bunga perbankan, unsure ekspetasi inflasi masih diperhitungkan kecil. Sedangkan factor lainnya masih lebih besar, seperti : kondisi likuiditas perbankan, pengelolahan perbankan yang kurang efisien, tersegmentasinya perbankan. Penggunaan suku bunga sebagai indicator ekspetasi inflasi sejalan dengan kebutuhan akan suatu instrumen yang secara efektif dapat menjelaskan fenomena pergerakan inflasi sebagai sasaran akhir bagi kebijakan moneter. Hasil penelitian-penelitian terdahulu menyatakan bahwa suku bunga merupakan channel yang cukup penting bagi kasus Indonesia. Namun penelitian tersebut lebih menekankan pada nominal suku bunga jangka pendek tertentu terhadap tingkat inflasi, dan belum mengukur kandungan ekspetasi inflasi didalam suku bunga tersebut. (Neni Supriyanti).

    Stabilitas ekonomi makro dapat dilihat dari pengaruh guncangan kebijakan harga pangan atau variabel ekonomi makro lainnya terhadap variabel kunci indicator ekonomi makro. Jika suatu guncanganmenimbulkan fluktuasi yang besar pada variabel ekonomi makro, maka dapat dikatakan stabilitas ekonomi makro rentan terhadap guncangan tersebut. Sebaliknya, jika dampaknya menimbulkan fluktuasi yang kecil, maka dapat dikatakan stabilitas ekonomi makro stabil. Variable ekonomi makro yang menjadi isu utama adalah pertumbuhan output, laju inflasi, pengangguran, dan neraca pembayaran (stigliz, 1997; Dornbusch et al, 1998). Variabel ekonomi makro tesebut saling terkait melalui pasar barang, pasar uang, pasar tenaga kerja, dan pasar saham yang membentuk keseimbangan internal (macro equilibrium) dan keseimbangan eksternal (Ilham dan Siregar).

 

Pembahasan

    
 

Dampak Kebijakan Fiskal Terhadap Output dan Inflasi

 

    Kebijakan fiskal ekspansif dilakukan untuk menngatasi resesi ekonomi. Kebijakan fsikal ekspansif dapat dilakukan dengan pemotongan pajak, dengan begitu akan menstimulus pasar barang dan meningkatkan output nasional (Keynes).

    Dalam teori Keynes mengasumsikan bahwa hasil output nasional atau PDB sangat ditentukan oleh keinginan rumah tangga, perusahaan, dan pemerintah untuk membelanjakan pendapatannya. Karena semakin banyak pelaku ekonomi yang berbelanja maka semakin banyak barang dan jasa yang dikeluarkan perusahaan.

    Akibat gunjangan ekonomi kebijakan fiskal dianggap juga sebagai kebijakan stabilisasi pemerintah dalam menghadapi resesi ekonomi. Kebijakan stabilisasi bertujuan mengurangi tekanan fluktuasi jangka pendek dan memperkecil siklus bisnis dengan mempertahankan output dan kesempatan kerja sedekat mungkin pada tingkat alamiahnya dalam jangka panjang. Faktor peningkatan permintaan barang dan jasa yang dihasilkan perusahaan akan berdampak pada peningkatan faktor tenaga kerja, sehingga menyebabkan menurunnya pengangguran.

    Menurut teori Keynes dalam teori permintaan dan penawaran agregat, kelebihan permintaan terhadap penawaran barang dan jasa terjadilah inflasi atau demand full inflation. Hal ini terjadi karena naiknya tingkat pendapatan masyarakat sehingga cenderung memiliki keinginan membeli barang dan jasa lebih banyak dari yang biasanya mereka konsumsi. Kebijakan fiskal ekspansif disebabkan oleh kenaikan belanja negara menstimulus peningkatan konsumsi neegara, namun jika disatu sisi kenaikan kapasitas produksi perusahaan terbatas dalam menghasilkan barang dan jasa sehingga menyebabkan kenaikan harga barang-barang.

    Menurut fiscal theory of the price level kebijakan fiskal memegang peranan penting dalam penentuan harga melalui budget constraint yang terkait dengan kebijakan utang, pengeluaran dan perpajakan dikembangkan oleh Leeper (1991), Wootford (1994,1995), dan Sims (1994). Tetapi terdaoat pandangan tradisional yang dmenyatakan bahwa inflation is always and everywhere a monetary phonemenon ni adalah teori quantity of money oleh Milton Friedman

    Dalam peraturan umum perekonomian, fungsi bank sentral adalah mengendalikan tingkat harga. Diskresi (kebebasan dalam mengambil keputusan/pendapat) kebijakan moneter ataupun fiskal, sering menjadi perdebatan publik. Dalam kebijakan fiskal belum diketahui kesepakatan yang pasti tentang mekanisme dan institusi yang dapat menghindarkan pengambil keputusan untuk melakukan diskresi. Sedangkan kebijakan moneter telah mencapai kesepahaman bahwa kebijakan moneter harus bebas dari intervensi pemerintah, yaitu dengan membentuk bank sentral yang independen.

    Dalam teori kedua Keynes kenaikan harga barang-barang disebabkan oleh kenaikan biaya produksi akibat adanya kenaikan biaya produksi dikarenakan adanya kenaikan dari faktor-faktor produksi itu sendiri hal ini adalah hubungan instrumen fiskal dengan inflasi yaitu cosh push inflation. Penerimaan yang berhubungan podsitif terhadap inflasi sesuai dengan teori tersebut, karena kebijakan perpajakan dengan menaikkan tarif pajak. Seperti tarif pajak untuk impor barang modal dan bahan baku, pajak penghasilan dan selain nya untuk mendorong peningkatan biaya produksi. Pada akhirnya terjadi kenaikan inflasi (cosh push inflation) karena perusahaan meningkatkan harga output untuk memperoleh laba maksimal. Diakibatkan karena kenaikan biaya produksi mempengaruhi harga faktor produksi sehingga berdampak pada kinerja perusahaan dengan menaikkan harga output atau mengurangi output produksi yang akhirnya juga menaikkan harga.

     Salah satu kebijakan fiskal adalah kenaikan tarif pajak tinggi yang sangat membebankan kegiatan produksi, akibatnya perusahaan barang dan jasa mengurangi hasil output produksinya. Hal ini menciptakan dasar terjadinya inflasi yaitu menurunnya penawaran sedangkan permintaan tetap.

    Dalam mempengaruhi pendapatan nasional salah satunya adalah komponen permintaan agregat yang dikeluarkan oleh pemerintah dalam jangka pendek. Pada akhirnya perekonomian akan berkembang jika kenaikan konsumsi pemerintah langsung direspon oleh sistem yang ada.

    Dalam perekonomian terdapat ketergantungan perekonomian terhadap pengeluaran negara dikarenakan kontribusi belanja terhadap output masih terbilang tinggi dengan rata-rata rasio belanja terhadap PDB sebesar 10%. Apabila terjadi resesi, pemerintah meningkatkan pengeluarannya pada belanja program-program dapat langsung memulihkan perekonomian. Salah satu contoh kasus seperti jika sektor pertanian mengalami kegagalan panen maka pemerintah memberikan subsidi terhadap komoditas pertanian yang mengalami gagal panen. Kebijakan fiscal akan menambah PDB sebesar 0.6 x nilai perubahan, dengan asumsi variabel-variabel yang lain tetap.

    Dampak pengaruh dari perubahan sistem anggaran adalah terjaminnya ketersediaan pendanaan bagi kegiatan-kegiatan pemerintah secara berkesinambungan yang dialokasikan pada jenis belanja secara efektif dan efisien. Maka jika hubungan belanja positif dalam jangka panjangnya menunjukkan dampak positif dari reformasi tata kelola anggaran yang dilakukan oleh kementrian keuangan selama ini.

    Sedangkan Keynes beramsumsi berkurangnya sektor pajak akan menimbulkan gairah ekonomi swasta yang pada akhirnya meningkatkan output nasional. Tetapi dalam penelitian Berto Muharman meningkatnya sektor perpajakan berdampak positif pada peningkatan output nasional, yang berarti bahwa pendapatan pajak merupakan salah satu bagian terpenting dalam pembiayaan belanja negara khususnya untuk pembangunan.

    Hubungan jangka pendek yang positif dan signifikan terhadap laju inflasi adalah pengeluaran pemerintah dan penerimaan pajak. Dalam penelitian Berto Muharman dilihat dari nilai masing-masing koefisien pengeluaran negara dan pajak sebesar 1,608 dan 1,598. Hasil ini sesuai dengan teori demand pull inflation dimana jjika terdapat kelebihan dari sisi peprmintaan sehingga menyebabkan kenaikan harga. Dapat disimpulkan bahwa besarnya pengaruh jangka pendek pengeluaran pemerintah hampir sama dengan penerimaan pajak dalam mengestimasi kenaikan laju inflasi.

    Laju inflasi berpengaruh positif pada belanja negara jangka pendek di pengaruhi oleh masih tingginya belajar untuk pegawai, sedangkan belannja pegawai sebagai hasil imbal jasa pegawai yang biasanya digunakan untuk konsumsi bukan modal kerja. Konsumsi yang meningkat akan berdampak langsung pada kenaikan inflasi. Sehingga terjadi kenaikan tingkat harga karena pendapatan yang tinggi hal ini sesuai dengan teori demand pull inflation.

     Fiskal th eory of the price level (FTP) terdapat 2 pendekatan untuk menjelaskan hal ini, yaitu weak from FTPL dan strong from FTPL yang mencerminkan fiskal dominance (dominasi kebijakan fiskal), dijelaskan melalui adanya tautan antara kebijakan fiskal dan kebijakan moneter melalui pendapatan dari pencetakan uang (seigniorage) karena ini merupakan salah satu pendapatan pemerintah, maka kebijakan fiskal dan moneter jangka panjang ditentukan secara bersamaan oleh fiskal budget constraint. Weak form mengartikan bahwa otoritas fiskal akan bergerak lebih dulu dengan menetapkan defisit/surplus anggaran dan kemudian direspons oleh otoritas moneter dengan menciptakan pendapatan dari pencetakan untuk menjaga kemmampuan pemerintah dalam memenuhi kewajiban jangka panjangnya (solvency). Apabila kedua otoritas menolak untuk menciptakan pendapatan dari pencetakan rasio utang terhadap PDB dapat meningkat secara kesinambungan. Hal ini akan berdampak pada peningkatan suku bunga riil utang pemerintah bersamaan dengan peningkatan permintaan premi oleh pasar. Hal ini tidak boleh terus menerus dilakukan, salah satu dari kebijakan tersebut harus dirubah.

    Berdasarkan hal tersebut Weak form FTPLberasumsi bahwa bank sentral akan merespon dengan menciptakan pendapatan dari pencetakan uang untuk menghindari kegagalan pembayaran (default). Kebijakan fiskal melalui future money growth turut menentukan inflasi. Penyebab utama money supply adalah otoritas fiskal.

    Strong from FTPL berasumsi bahwa kebijakan fiskal atau moneter bersifat eksogen dan harga menyesuaikan untuk memastikan memenuhi kewajiban jangka panjang pemerintah. Jika tingkat selisih antara penerimaan dan pendapatan primer dipersepsikan tidak memadai untuk memastikan tingkat fiskal memenuhi kewajiban jangka panjang dan bank sentral tidak menciptakan pendapatan dari pencetakan, maka keseimbangan akan didapat melalui tingkat harga. Penyesuaian akan terjadi melalui wealth effect.

    Penjelasan mengenai FTPL masih terbatas dan hasilnya relatif beragam. Masalah paling utama dalam hal ini adalah bahwa perilaku kenaikan harga yang diakibatkan oleh kebijakan fiskal hanya dapat diidentifikasikan apabila government’s intertemporal budget constraint tidak balance.

     Sifat kebijakan fiskal dapat mengganggu mekanisme pasar, hal ini tentu bertentangan dengan teori inflasi. Seperti contoh dalam kasus mengenai kebijakan untuk mengurangi belanja subsidi BBM. Pemerintah dalam mengambil kebijakan tersebut beralasan karena mempertahankan kesehatan fiskal, dengan cara memngurangi defisit anggaran. Pemerintah beranggapan bahwa subsidi BBM ini salah tujuan dan akan dialokasikan kepada pihak golongan masyarakat miskin yang pemerintah merasa merekalah yang berhak atas subsidi BBM.

    Penurunan belanja subsidi BBM berdampak pada penurunan output nasional. Karena pengurangan tingkat belanja baik dalam jangka pendek ataupun jangka panjang akan menurunkan output nasional. Masih terdapat dampak lanjutan dari penurunan belanja subsidi BBM, walaupun sebenarnya pengurangan belanja subsidi BBM rencananya dialokasikan untuk belanja-belanja bantuan sosial seperti bantuan langsung, pemberian beasiswa dan sebagainya agar total belanja negara masih tetap jumlahnya dan tepat sasaran. Jika BBM naik maka akan menaikan harga komoditas lainnya. BBM merupakan faktor utama dalam mendistribusikan barang, karena itulah dalam dunia usaha sangat merasakan dampaknya, khususnya para UKM.

 

    Untuk mengetahui deskriptif perkembangan beberapa indicator makroekonomi yang disajikan dalam bentuk grafis maupun numeric diperlukan metode VAR (vector autoregression) untuk melihat bagaimana respon inflasi dan output terhadap shocks kebijakan fiscal dan moneter setelah melakukan uji stasioneritas data menggunakan augmented Dickey Fuller (ADF test), pemilihan lag optimum dan uji kointegrasi. Impulse response dan variance decomposition digunakan untuk melihat respon terhadap adanya shocks kebijkan.

        

 

Berikut ini data dan variabel yang dibutuhkan untuk mempelajari dampak kebijakan fiscal serta dampak diskresinya ;


    Fatas dan Mihov (2001) mengemukakan bahwa kelima variabel pada table diatas adalah variabel makro minimal yang dibutuhkan untuk mempelajari dampak kebijakan fiscal.

 



Tabel 2 dan table 3 diatas adalah data yang dibutuhkan untuk menguji dampak diskresi kebijakan fiscal terhadap votalitas output dan inflasi.

 

 

Kebijakan Fiskal dalam Sistem Nilai Tukar Mengambang Dengan Aliran Modal Tidak Sempurna

    


    Dalam gambar diatas dampak kebijakan fiskal ekspansif mengakibatkan pergeseran kurva IS dari Iso ke IS1. Adanya peningkatan output pada domestik mengakibatkan pendapatan naik. Agar terjadinya aliran masuk dalam perekonomian, neraca pembayaran surplus dan kurs apresiasi harus meningkatkan tingkat bunga untuk menjaga permintaan uang sama dengan jumlah uang beredar yang tetap.

    Hasil dari apresiasi nilai tukar yaitu pergeseran kurva BOP dari BOP0 ke BOP1. Pada setiap tingkat bunga keseimbangan neraca pebmbayaran menghasilkan tingkat pendapatan yang lebih rendah dikarenakan adanya pergerakan pembelanjaan dari barang domestik ke barang luar negeri yang harganya lebih murah disebackan karena apresiasi kurs. Hal tersebut terjadi karena kurva IS bergeser ke kiri sebagai akibat naiknya impor barang dan jasa. Perpotongan antara kurva BOP1 dengan LM0 menyebabkan terjadinya keseimbangan baru IS2.

    Yarbrough dan yarbrough mengemukakan bahwa dampak kebijakan fiskal ekspansif terhadap pendapatan, tingkat bunga dan nilai tukar bergantung pada apakah kebijakan dilakukan secara permanen atau temporer. Jika kebijakan dilakukan bersifat temporer, pergeseran kekiri kurva BOP relatif lebih luas, karena perkiraan depreasiasi dimasa depan juga sementara, dan pergeseran kurva IS ke kiri juga relatif lebih kecil karena surplus BOP relatif lebih kecil, kebijakan fiskal ekspansif kemudian secara substantial dapat meningkatkan pendapatan. Namun jika kebijakan diperkirakan dilakukan secara permanen, pergeseran kurva BOP ke kiri relatif lebih kecil dan pergeseran kurva IS ke kiri lebih besar.

     Kebijakan fiskal ekspansif mengakibatkan naiknya tingkat bunga akibat dari apresiasi yang terjadi karena efek crowding out dalam kondisi tersebut. Jika mata uang domestik mengalami apresiasi (kurs turun) maka diakibatkan oleh kondisi aliran modal tidak sempurna, naik nya tingkat bunga akan mendorong hal tersebut. Pada pergeseran kurva pengeluaran produk domestik ke produk luar negeri, impor naik sehingga kurva IS kembali bergeser ke kiri. Hal ini dikarenakan apresiasi membuat harga barang dan jasa domestik relatif lebih mahal dari pada barang dan jasa luar negeri.

 

Dampak Kebijakan Moneter Terhadap Pertumbuhan Ekonomi

 

    Salah satu kebijakan yang digunakan untuk meningkatkan dan menjaga kestabilan ekonomi dengan menggunakan kebijakan moneter. Sebelumnya Keynes mengemukakan bahwa selain fungsi uang sebagai alat tukar, berfungsi juga sebagai penyimpan nilai (store of value) fungsi inilah yang memungkinkan uang digunakan untuk memperoleh keuntungan. Keynes menyadari bahwa keseimbangan akan terjadi dalam perekonomian apabila jumlah output yang ditawarkan (output agregat yang dihasilkan) sama dengan output agregat yang diminta.dengan penambahan pengeluaran yang sama kebijakan moneter akan menambah PDB sebesar 2,6 x nilai perubahan.

    Untuk menjelaskan kombinasi suku bunga dan output agregat dimana jumlah uang yang ditawarkan menggunakan kurva LM. Menurut Mankiw, kurva permintaan itu sendiri tidak dapat menjelaskan beberapa besar jumlah barang yang dijual dipasar, kurva IS juga tidak menjelaskan beberapa tingkat output agregat yang akan dihasilkan karena suku bunga masih belum diketahui. Kursa IS ini dimana hubungan antara output agregat keseimbangan dengan suku bunga yang dihasilkan. Untuk memperoleh analisis yang lengkap mengenai penentuan output agregat dimana kebijakan moneter memainkan peran penting disini yaitu pada saat kurva IS dan kurva LM digabung dalam diagram yang sama, perpotongan keduanya akan menentukan tingkat output agregat keseimbangan dan suku bunga keseimbangan

    Nopirin beranggapan bahwa koordinasi antara kebijakan moneter, kebijakan fiskla, dan pertmbuhan eonomi dapat dilihat dari model keseimbangan IS-LM dimana dalam keseimbangan IS-LM ini moneter memainkan peranan penting. Dalam pendekatan IS-LM pertumbuhan ekonomi yang bertumpu pada keberadaan pasar uang yang ditentukan oleh permintaan dan penawaran uang hal ini menjelaskan bagaimana efektivitas dari kebijakan moneter dapat mempengaruhi output. Dalam pendekatan ini harga diasumsikan tidak berubah (fixed price) dan pengaruh kebijakan moneter terhadap kinerja perekonomian hanya dilihat dari sisi pendapatan.

    Pada saat kebijakan yang ekspansif dibuat oleh kebijakan moneter untuk memulihkan perekonomian setelah terjadi resesi adalah dengan meningkatkakn jumlah uang beredar yang ada dimasyarakat, secara otomatis permintaan uang dimasyarakat kan meningkat (money demand). Peningkatan dalam hal ini mengakibatkan turunnya suku bunga atau harga uang, yang selanjutnya akan direspon oleh aktivitas disektor riil seperti investasi dan akhirnya akan meningkatkan agregat demand dan pertumbuhan ekonomi akan tercapai.

    Perubahan dalam jumlah uang beredar akan berpengaruh terhadap suku bunga jangka pendek dan jangka menengah di pasar uang dan setelah itu akan berpengaruh terhadap peningkatan pendapatan nasional. Hal ini mengawali perubahan kebijakan moneter tersebut dapat digunakan untuk menganalisis mekanisme transmisi kebijakan moneter. Dalam pengaruh kebijakan moneter terhadap terwujudnya sasaran memerlukan tenggat waktu (time lag) yang panjang dan bekerja melalui jalur-jalur transmisi moneter yang pada akhirnya tidak muncul seketika. Hal itu menyebabkan perlunya pemahaman yang mendalam tentang mekanisme transmisi kebijakan moneter melalui kurva IS-LM tersebut.

    Tenggat waktu yang dibutuhkan instrument kebijakan moneter melalui suku bunga SBI dalam mempengaruhi pertumbuhan ekonomi yaitu 3 triwulan. Sedangkan instrument kebijakan moneter melalui jumlah uang beredar membutuhkan tenggat waktu yang lebih lama yaitu empat (4) triwulan untuk merespon pertumbuhan ekonomi. Karena instrument jumlah uang beredar lebih lama dalam merespon pertumbuhan ekonomi, menyebabkan turunnya pertumbuhan ekonomi melalui tingkat inflasi yang ikut tinggi tidak dikendalikan juga ketika instrument ini digunakan dalam jangka waktu yang terlalu lama. Dalam jangka panjang uang bisa bersifat netral, yang dimaksud dalam hal ini adalah uang tidak akan mempunyai pengaruh atau berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi dalam sector riil.

    Menggunakan instrumen kebijakan suku bunga SBI lebih efektif dalam mempengaruhi pertumbuhan ekonomi daripada menggunakan instrument jumlah uang beredar yang waktu tenggat dan responnya lebih lama terhadap pertumbuhan ekonomi. Dikarenakan respon dari sector perbankan dan sector riil lebih cepat merespon suku bunga SBI daripada jumlah uang yang beredar. Sector perbankan belum tentu memungkinkan melakukan intervensi kebijakannya dengan menentukan harga atau suku bunga dengan keputusan dinaikkan atau diturunkan ketika terjadinya kondisi jumlah uang yang beredar meningkat dalam jangka panjang.sehingga dapat disimpulkan bahwa pertumbuhan ekonomi lebih cepat ditingkatkan ketika otoritas moneter menggunakan instrument suku bunga SBI sebagai intervensi kebijakannya.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Kebijakan Moneter dengan Aliran Modal Tidak Sempurna

 


 

    

    Kebijakan moneter dalam sistem nilai tukar fleksibel dan dengan aliran modal tidak sempurna merupakan kebijakan yang efektif untuk meningkatkan pendapatan nasional, baik dilakukan secara temporer maupun permanen. Namun kebijakan yang dilakukan secara permanen lebih efektif daripada kebijakan yang dilakukan secara temporer.

    Pada efektifitas kebijakan moneter mobilitas modal berkonstribusi untuk meningkatkan pendapatan nasional dalam sistem nilai tukar fleksibel. Hal tersebut diakibatkan karena efek depresiasi yang dihasilkan dari kebijakan moneter ekspansif yang berdampak pada harga relative barang dan jasa domestic luar negeri. Jika kebijakan moneter dilakukan lebih permanen, depresiasi semakin lebar dan harga barang dan jasa secara relative menjadi semakin murah. Hal ini dapat disimpulkan bahwa lebih luasnya mobilitas modal, terhadap harga barang luar negeri.

    Tingkat bunga turun karena pergeseran kurva LM dari LM0 ke LM1 dari kebijakan moneter ekspansif dengan menaikkan jumlah uang beredar. Menurunnya tingkat bunga menyebabkan aliran modal keluar mengakibatkan neraca pembayaran deficit sehingga kurs naik (mata uang domestic depresiasi), selanjutnya depresiasi mengakibatkan harga relative barang dan jasa menjadi lebih murah daripada luar negeri. Pengeluaran dialihkan untuk barang dan jasa domestic, disisi lain ekspor naik dan kurva IS bergeser kekanan dari IS0 ke IS1. Depresiasi nilai tukar domestic membuat kebijakan moneter sebagai instrument yang efektif untuk mencapai keseimbangan internal (Yib).

 

 

Respon Dinamik Variabel Ekonomi Makro Terhadap Guncangan Kebijakan Moneter








Interaksi Kebijakan Fiskal dan Moneter

 

Berdasarkan penelitian Yuni Indrawati hasil estimasi VAR menggunakan variabel endogen, adalah respon dari variabel fundamental ekonomi inflasi dan outpit terhadap shocks yang bersumber dari kebijakan fiscal dan moneter

 

 


    Respon output terhadap perubahan tingkat suku bunga dan kebijakan fiscal adalah negative. Sedangkan perubahan tingkat suku bunga direspon positif oleh tingkat inflasi pada awal periode sampai dengan tahun kelima dan kemudian menghilang menuju kondisi keseimbangan, namun perubahan pengeluaran pemerintah sampai pada tahun ke 4. Berarti bahwa adanya kebijakan fiscal yang ekspansif dan kebijakan moneter yang ketat melalui kenaikan tingkat suku bunga menyebabkan kenikan inflasi.

    Menurunnya pertumbuhan ekonomi dikarenakan kondisi kebijakan moneter yang ketat melalui tingkat suku bunga. hal ini mengindikasikan kebijakan penurunan suku bunga diperlukan untuk menciptakan iklim yang kondusif bagi sector riil. Namun Pengaruh kenaikan tingkat bunga terhadap kenaikan inflasi hanya direspon temporer, Indikasi kebijakan fiscal yang ekspansif menyebabkan kenaikan inflasi meskipun hanya berlangsung cepat dan menyebabkan penurunan output.

    

 

    Perkembangan inflasi direspon negativf berarti bahwa adanya kenaikan inflasi direspon dengan penurunan tingkat bunga. Sedangkan tingkat suku bunga merespon positif adanya perubahan output dan menghilang menuju keseimbangan, hal tersebbut memperlihatkan bahwa kebijakan tingkat suku bunga dilakukan secara hati-hati untuk tetap menjaga iklim kondusif bagi sektor rill. Dan adanya inovasi perkembangan output dan inflasi direspon positif oleh kebijakan fiscal.

 

Kesimpulan

 

    Kebijakan fiscal mempengaruhi besar-besaran konsumsi, investasi, pengeluaran pemerintah, ekspor dan impor yang akan mempengaruhi pasar barang. Sedangkan, kebijakan moneter akan mempengaruhi penawaran uang dan permintaan uang (money supply and money demand) yang terdeskripsi dalam suatu perekonomian. Kebijakan fiscal yang ekspansif dan kebijakan moneter yang ketat melalui kenaikan tingkat suku bunga menyebabkan kenaikan inflasi. meskipun hanya berlangsung cepat dan menyebabkan penurunan output. kebijakan tingkat suku bunga dilakukan secara hati-hati untuk tetap menjaga iklim kondusif bagi sektor rill. Dan adanya inovasi perkembangan output dan inflasi direspon positif oleh kebijakan fiscal.

 

    kebijakan yang paling tepat untuk menstabilkan perekonomian adalah kebijakan moneter. stabilitas ekonomi dapat dilihat dari dampak guncangan suatu variabel makroekonomi terhadap variabel makroekonomi yang lainnya. Apabila dampak suatu guncangan menyebabkan fluktuasi yang besar pada variabel ekonomi dan diperlukan waktu yang relatif lama untuk mencapai keseimbangan jangka panjang, maka dapat dikatakan bahwa stabilitas makroekonomi rentan terhadap perubahan. Jika sebaliknya, dampak guncangan menunjukan fluktusi yang kecil dan waktu untuk mencapai keseimbangan jangka panjang relatif tidak lama maka dapat dikatakan bahwa kondisi makroekonomi masih stabil. Pertumbuhan ekonomi lebih cepat ditingkatkan ketika otoritas moneter menggunakan instrument suku bunga SBI sebagai intervensi kebijakannya

 

Daftar Pustaka

 

Santoso, Teguh.2008. Dampak Kebijakan Fiskal Dan Moneter Dalam Perekonomian Indonesia: Aplikasi Model Mundell-Fleming. Jurnal Organisasi dan Manajemen, Vol 5 No. 2.

 

Indrawati, Yulia. 2007. Interaksi Kebijakan fiscal dan Moneter Di Indonesia : Pendekatan Vector Autoregression. Parallel Session IC: Monetary & Macroeconomy Policy

 

Muharman, Berto. 2013. Analisis Dinamis Pengaruh Instrumen Fiskal Terhadap PDB Dan Inflasi Di Indonesia.Jurnal Ilmiah.

 

Julaihah, Umi. Analisis Dampak Kebijakan Moneter Terhadap variabel Makroekonomi Di Indonesia.: Fakultas Tanbiyah UIN Malang

 

Sholeh, Maimun.Kebijakan Moneter Dan Inflation Targetting : Suatu Tinjauan Teori.:Univesitas Negeri Yogyakarta

 

Ilham, Nyak dan Hermanto Siregar.2007.Dampak Kebijakan Harga Pangan Dan Kebijakan Moneter Terhadap Stabilitas Ekonomi makro.Jurnal Agro Ekonomi. Vol. 25 No. 1.

 

Surjaningsih, Ndari, g. A. Diah Utari, dan Budi Trisnanto.2012.Dampak Kebijakan Fiskal Terhadap Output Dan Inflasi. Buletin ekonomi Moneter dan Perbankan.

 

Supriyanti,Neni.Analisis Pengaruh Inflasi Dan Suku Bunga BI Terhadap Kinerja Keuangan Pt. Bank Mandiri, Tbk Berdasarkan Raio keuangan.

 

Dona, Elva, HAsdi Aimon, dan Zul Azhar.2011.Analisis Ekonomi Sektor Riil Dan Sektor Moneter Di Indonesia.Jurnal Kajian Ekonomi. Vol. 1 No. 2.

 

Novitaningrum, Restie.2011.Kebijakan Dalam Perekonomian Makro Indonesia.

 

Sujai, Mahpud.2011.Dampak Kebijakan Fiskal Dalam Upaya Stabilisasi Harga Komoditas Pertanian.Analsis Kebijakan Pertanian. Vol. 9 No. 4.

 

Astana, Satria, Bonar M. Sianaga, Sudarsono Soedomo, dan Bintang C.H. Simangunsong.2012.Dampak Kebijakan Makroekonomi Dan factor Eksternal Ekonomi Terhadap Laju Defortasi Dan Degradasi Hutan Alam:Studi Kasus Defortasi Untuk Perluasan Areal Tanaman Pangan Dan Perkebunan Serta Hutan Tanaman Industri Dan Degradasi Hutan Alam Areal Konsesi.Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan. Vol.9 No.3.

 

Hermawan, Wawan.2006.Pengujian Kausalitas Antara Tingkat Bunga Dan Neraca Pembayaran Di Indonesia Tahun 199.1-2001.2.Bina Ekonomi. Vol.10 No. 2

 

Seprillina, Linda.2013.Efektivitas Instrumen Kebijakan Moneter Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Di Indonesia.Jurnal Ilmiah.

 

Supartoyo, Yesi Hendriani, Jen Tatuh, dan Recky H. E. sendouw.2013.The Economic And The Regional Charactheristics : The Case Of Indonesia.Buletin Ekonomi Moneter Dan Perbankan.

Leave a comment